
Jakarta — Polemik terkait pencampuran etanol 3,5 persen pada bahan bakar minyak di Indonesia kembali memunculkan sorotan tajam dari pihak Toyota. Menurut mereka, angka tersebut masih jauh di bawah standar yang diterapkan di banyak negara — bahkan hingga 85–100 persen etanol di beberapa wilayah.
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, menyatakan kebingungannya atas kontroversi yang timbul dari angka 3,5 persen. Menurutnya, jika membandingkan kapasitas dan tren dunia, Indonesia sebenarnya masih tertinggal jauh. “Di luar negeri itu sekarang hampir semua negara sudah menerapkan E10, E20, bahkan Thailand juga sudah bergerak dari E10 ke E20, di Amerika Serikat juga sudah menerapkan di beberapa negara bagian sampai E85. Di Brazil sampai E100,” ucap Bob Azam di Karawang, Jawa Barat (Kamis, 9 Oktober).
Lebih lanjut, Bob menambahkan, “Kita sendiri 20 tahun lalu sudah bisa bikin mesin bahan baku etanol 100 persen, makanya saya bingung kenapa sekarang kita ribut etanol 3,5 persen. Pernyataan ini menekankan bahwa kapasitas teknis dan potensi produksi etanol di Indonesia sebenarnya sudah berada pada taraf tinggi.
Tantangan Energi dan Emisi
Bob Azam juga mengakui bahwa etanol memiliki energy density lebih rendah dibandingkan bensin — umumnya sekitar 30 persen lebih rendah. Namun, ia menekankan bahwa dampak tingkat emisi bisa jauh lebih signifikan. Menurutnya, meski penggunaan etanol menurunkan energi, perbedaan harga relatif kecil. “Jadi kalau E30 mungkin 1% lah energy-nya akan lebih rendah gitu. Jadi kalau harganya Rp 12.000, impact-nya kan cuma Rp 120 perak. Tapi emisinya itu turun sampai 65%,” ujarnya.
Ia mencontohkan keberhasilan India dalam menerapkan subsidi untuk etanol, terutama karena sumbernya berasal dari petani lokal. Hal ini, menurut Bob, bisa membentuk siklus positif: meningkatnya permintaan etanol akan memicu peningkatan pendapatan petani. Namun, ia juga mencatat bahwa di Indonesia skala produksi etanol dari petani belum mencapai level yang memadai. “Ke depan kalau misalnya banyak petani yang sudah mengubah hasil taninya menjadi etanol, ini justru bisa menjadi positive cycle,” katanya.
Pro dan Kontra di Ranah Regulasi
Di sisi lain, kontroversi muncul ketika beberapa SPBU swasta — seperti Shell, VIVO, dan BP-AKR — menyatakan batal membeli BBM murni atau base fuel dari Pertamina. Alasannya, produk yang disediakan justru sudah mengandung etanol sebesar 3,5 persen, bukan sepenuhnya murni.
Menurut Wakil Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Achmad Muchtasyar, isu yang disampaikan kepada SPBU adalah soal kandungan. Ia menjelaskan bahwa secara regulasi pencampuran etanol dalam BBM diperbolehkan hingga batas tertentu (hingga 20 persen menurut pernyataannya). “Nah, di mana secara regulasi itu diperkenankan, etanol itu sampai jumlah tertentu kalau tidak salah sampai 20% etanol, kalau tidak salah. Sedangkan ada etanol 3,5%,” jelasnya di hadapan Komisi XII DPR RI.
Dengan demikian, perdebatan ini tidak hanya soal teknis mesin atau lingkungan, tetapi juga soal regulasi dan kejelasan kebijakan.
Catatan Akhir dan Implikasi ke Depan
Kontroversi pencampuran etanol 3,5 persen muncul di tengah upaya global untuk menuju energi lebih bersih dan transisi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Pernyataan Toyota melalui Bob Azam menunjukkan bahwa standar di banyak negara sudah jauh lebih tinggi dibanding kita.
Namun, untuk menerapkan etanol dalam kadar besar di Indonesia, diperlukan sinergi antara kebijakan pemerintah, kesiapan industri otomotif, serta ketersediaan bahan baku dari sektor pertanian. Jika dikelola dengan baik, transisi ini bisa menjadi peluang bagi keberlanjutan energi sekaligus penguatan ekonomi petani lokal.
Untuk pembahasan lebih lanjut, seperti dampak terhadap mesin kendaraan, biaya operasional, dan kesiapan infrastruktur SPBU — silakan beritahu saya, saya bisa bantu analisis atau telusuri lebih lanjut.